Kamis, 12 Desember 2013

Sufi Pun Butuh Hubungan Seksual

Al-Junaid al-Baghdadi, seorang imam besar dalam tasawuf pernah berkata: "Aku membutuhkan seks, sebagaimana aku butuh makan." Mengapa al-Junaid mau-maunya berkata begitu?

Tentunya, al-Junaid bukan orang yang memori otaknya dipenuhi seks atau malah seks maniak. Coba baca saja, kata-kata al-Junaid tersebut telah disyarahi oleh al-Ghazali. Kata al-Ghazali, di dunia ini ada satu kenikmatan yang nyaris menyamai kenikmatan surga, yaitu kontak seksual (mujama'ah).

Nah, sesungguhnya al-Junaid ingin menyadarkan kita bahwa kenikmatan surga adalah kenikmatan yang sangat indah, abadi dan tak terbayangkan (ma la'inun raat wa la udzunun sami'at). Di dunia kita hanya merasakan kenikmatan klimaks seks semuncratan saja. Besok di akhirat baru bisa rasakan kenikmatan seks selamanya (abadan). Menurut bocoran info, di surga kelak, orang berhubungan seks tak pernah mengalami ejakulasi atau orgasme. Pokoknya, genjot terus!

Pandangan tersebut memang bernada spiritualistik-sufistik. Yah, sebut saja "ilmu tua"-lah. Cuma, penting untuk memahami, loh ternyata seks punya kandungan pemaknaan yang eksoterik (lahiriah) dan esoterik (bathin).

Saya cuplikkan lagi pendapat dari sufi lain, Ibnu Arabi yang digelari Syaikh al-Akbar. Selaras pandangan emanatif dan wahdah al-wujud Ibnu Arabi bahwa alam tempat tajalli, atau penampakan Tuhan, maka berhubungan intim dengan wanita (ingat, istri loh!) sesungguhnya adalah proses untuk bersatu (wahdah) dengan Tuhan. Menjauhi kebersatuan dengan wanita sesungguhnya menjauhi bersatu dengan Tuhan.

-------
Tulisan di atas adalah kutipan dari buku Soffa Ihsan, The End of Marriage and The Last Sex (Surabaya: JP Books, 2006), hlm. 240-242.

5 komentar:

  1. "Mereka [perempuan] itu busana bagi kalian; dan kalian pun busana bagi mereka." (Sapi Betina 187)

    BalasHapus
  2. Al Junaid berkata begitu karena dia lelaki normal dan karena normalnya itu dia butuh hubungan seks. Coba lihat pendapat Abraham M tentang 5 kebutuhan dasar manusia (antara lain : love). Ulama manapun yang tuntutan biologisnya seharusnya halal berhubungan seks tetapi enggan melakukan-nya dengan alasan dia ulama, maka manusia yang jadi ulama itu mengingkari keberadaan dirinya sebagai khalifah dikeluarganya. Dia nggak dapat menjalankan keinginan Tuhan agar setiap manusia berkembang biak di bumi

    BalasHapus
  3. saya melihat ini sebagai pernyataan seorang lelaki :)
    siapa yg tdak butuh bahkan untuk kalangan sufi??
    kalau msalah mencari kenikmatan surga atau pendekatan untuk menyingkap hijab Ketuhanan dlam tasawuf sama skali bukan dgn itu
    itu pendapat keliru
    hanya orang2 yg mukasyafah lah yg tidak terhijab lagi dgn Tuhan
    Kasyf seorang wali tasawuf sama skali tdak ada hubungan nya dgn bercinta atau hbungan badan
    penyingkapan nya akan hijab kepada Tuhan melalui"pandangan"
    pandangan yg brdasar pada ilmu
    dan mendekati kenikmatan surga??
    setau saya sufisme tdak tertuju pada surga melainkan hanya"cinta"
    cinta kepada Tuhan nya itu lebih dripada surga bagi mereka
    melalui seks trdengar sperti sekte persaudaraan pemuja setan haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kasyf tidak hanya milik ahli tasawwuf. Diantara para sufi, cara (jalan) kasy-nya pun berlainan. Sebab, dalilnya bersifat umum: "... dan bersikap seganlah kamu kepada Tuhan, niscaya Tuhan akan mengajarimu." (Sapi Betina 282)
      Lihat http://www.ahmadzain.com/read/ilmu/64/ilmu-laduni-dalam-islam/

      Hapus
  4. kunjungi web kami dan dapatkan penawaran terbaik kami. Ready stok puluhan rumah dijual harga mulai 20 jutaan.

    BalasHapus